Home » » Takut

Takut

Rinai hujan perlahan mereda. Aku masih menanti dirinya digerbang sekolah, hanya ditemani handphoneku yang dari tadi terus melantunkan lagu favoritku, Doushite Kimi Wo Suki Ni Natte Shimattandarou? Samar-samar aku mendengar langkah di balik tubuhku. “Thanks ya Kak udah nungguin, lama ya?” Ucap Nisa yang basah kuyup. “Nggak kok, pake nih” balasku sambil memberikan jaketku padanya. “Tapi?” “Tapi apa? Udah pake aja” Akhirnya Nisa mengenakan jaketku.
Dibawah langit senja dan temaramnya pelangi aku memacu motor sementara Nisa duduk dibelakangku. Sepanjang jalan senyum Nisa selalu merekah dan aku suka itu.  Senyumnya bagai salju yang turun digurun hatiku yang gersang yang telah lama haus akan kesejukan.
Setelah mengantar Nisa, aku pun memacu motor ke kediamanku. Entah mengapa setiap pulang dengan Nisa jantungku berdetak lebih cepat dan damai menyelimuti hatiku. Apakah ini namanya cinta yang selalu dielu-elukan oleh setiap orang? Rembulan malam itu bersinar dengan anggunnya, tak mau kalah dengan bintang yang bertaburan disekelilingnya. Rembulan yang indah itu hanya diam seribu bahasa saat aku bertanya padanya, “Apakah Nisa memiliki perasaan yang sama denganku?” Aku seperti orang bodoh yang mengharapkan jawaban dari bulan yang selalu diam.
Ternyata bulan menjawab jawabanku. Waktu istrahat esok harinya, tak sengaja kami bertemu diperpustakaan. Kami duduk besebelahan. Bukannya mengerjakan tugas yang diberikan oleh guruku, aku malah mencuri pandang kearah Nisa. Waktu berjalan lambat ketika kubersamanya. Seakan bumipun tahu aku ingin menghabiskan waktu dengannya. Pandanganku terpecahkan oleh dering bel yang menandakan waktu istirahat telah usai.
Hari itu kami tak pulang bersama. Nisa diantar pulang oleh seorang teman lelakinya. Hampa, itulah perasaanku saat itu. Terasa kosong tanpa dirinya disampingku. Ada rasa kesal saat mengingat Nisa pulang bersama lelaki lain. Apa ini yang namanya cemburu? Apa aku benar-benar jatuh cinta?
Esoknya aku dan temanku, Alan, melihat Nisa sedang bersama lelaki yang mengantarnya pulang kemarin sedang terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius. Tanpa diduga si lelaki memberikan ciuman di pipi kanan Nisa. Melihat pemandangan itu membuatku terbakar. Tanpa banyak berbicara aku langsung meninggalkan Alan dan menuju kelas.
“Siapa suruh nggak nembak?” Celetuk Alan.
“Nembak? Sorry gue nggak niat jadi polisi.” Candaku berusaha menutupi kenyataan. “Nggak usah muna lu, bilang aja suka. Iyakan?.” Desaknya.
“Ngaco lu” Elakku. Alan hanya menatapku sinis. Aku menyerah
“Emang keliatan ya?” Alan pun menghentikan tatapannya,
“Jelas keliatan, mata sama bahasa tubuh lu ngomong lebih banyak daripada mulut lu.” Aku terdiam. “Kalo lu suka sama cewek, kejar dia walau sampe ke ujung dunia.” Ucap Alan dengan mantap.“Bilang kalo lu cinta sama dia dan lu pengen jadi pacarnya.” Lanjutnya.
Aku rasa dia benar,
“Gue masih belum yakin sama perasaan gue.”
“Kok belum yakin? Jelas-jelas lu lagi falling in love.” Balasnya. “Gue…”
Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Bu Tati masuk ke dalam kelas. “Masukkan buku kedalam tas, naikkan kertas dua lembar. Kita ulangan.” Ucapan Bu Tati langsung disambut keluhan teman-temanku. “Nanti kita lanjutin.” Bisikku kepada Alan. Bisikanku diamini Alan dengan anggukannya.
Setelah tertunda tadi kami pun melanjutkan obrolan tadi.
“Tadi sampe mana.”
Mulai Alan. “Gini, gue sebenernya ragu buat nembak dia. Gue takut dia nanti jauhin gue. Disampingnya udah cukup buat gue.” Jawabku dengan pandangan tertunduk. “Tapi lu mau lebih. Bukan sekedar teman.” Balasnya. Aku hanya tertunduk diam menyadari kebenaran ucapan Alan. “Lu nggak usah takut atau malu buat nyatain perasaan lu. Nggak ada salahnya buat nyoba.” Ucapnya. Aku hanya bisa diam. Mencoba mencerna perkataan Alan tadi.
Perkataan Alan masih terngiang dikepalaku sampai larut malam. Aku pun termotivasi untuk mewujudkan perkataan Alan. Esoknya aku bertanya kepada Tari mengenai Nisa dengan lelaki yang bersamanya kemarin. Dia adalah sahabat Nisa dan juga teman masa kecilku. “Hi Tari cantik.” Godaku. “Hi juga kak ganteng. Pasti ada maunya. Apa hayo?” Rupanya tabiatku telah tertebak. “Hehehe, gini loh kemaren aku sama Alan liat Nisa dicium cowok di depan kelasnya. Siapa sih tu cowok?” “Oh, itumah Kevin kak. Dia itu mantannya Nisa.” Jawabnya. “Mantan? Mau ngapain? Kok pake acara cipika segala?” Tanyaku ingin tahu. “Dia pengen balikan sama Nisa. Tapi Nisa nggak mau, soalnya dia lagi kepincut sama seseorang. Emang bener Kevin nyium Nisa, tapi itu diluar kemauan Nisa. Habis dicium Nisa langsung nampar tu cowok.” Jawab Tari dengan mantab. “Ternyata begitu.”
Ucapku diiringi senyum samar.
 “Sekarang giliran aku yang nanya. Ngapain kakak nanya-nanya begituan? Jangan-jangan?” Tanyanya diiringi dengan seringai jahil. “Ah nggak apa-apa. Cuma penasaran doang.” Jawabku sedikit terbata-bata. “Masa cuma penasaran?” Tanyanya lagi. “Udahan dulu ya, mau ngangkat jemuran nih.” Kilahku ingin menghindar dari pertanyaan Tari. Lagipula saat itu langit sedang diselimuti awan gelap. Aku langsung berlari menuju rumah. “Nggak mau ngaku juga apa-apa!”
Teriak Tari dari belakangku. Aku hanya berbalik dan menjulurkan lidahku.
Ada tanda Tanya didalam benakku. Siapa yang sedang ditaksir oleh Nisa? Apakah dia itu aku? Atau orang lain? Aku benar-benar bingung dengan masalah ini. Tapi aku ingin Nisa tahu perasaan ini kepadanya.
Esok harinya aku dan Nisa kembali bertemu diperpustakaan. “Kak boleh nanya nggak?” Ucap Nisa membuka pembicaraan. “Boleh, mau nanya apa?” Jawabku menatap matanya yang sempurna dimataku. “Menurut kakak, aku gimana orangnya?”
“Baik.”
“Cuma itu?”
“Sebenernya…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku teman-teman Nisa datang ketempat kami dan membawa Nisa tanpa permisi.
Gagal sudah rencanaku menyatakan perasaanku kepada Nisa.
Malam-malam setelahnya aku berusaha meyakinkan diri sendiri untuk menyatakan perasaan ini padanya. Namun esoknya keyakinan itu hilang dan digantikan dengan senyum Nisa dikepalaku.
Tanpa aku tahu ayah akan dipindah tugaskan ke Korea Selatan. Ayah adalah seorang diplomat. Dengan segenap keberanian aku mencoba untuk mengungkapkan rasa yang kupendam selama ini. Malam terakhir dikota ini, aku  berbicara didepan cermin dan aku menggap cermin itu adalah Nisa. Namun Aku melihat diriku sendiri.
“Lu nggak bakal bisa ngungkapin perasaan lu sama dia.” Ledek diriku dalam cermin. “Kata siapa?”
Tantangku. “Gue adalah pikiran lu. Gue tahu apa yang lu rasain.”
“Lu takut buat mencoba, berkali-kali ada kesempatan tapi lu malah nggak ngelakuin apa-apa.” Jawabnya seakan tahu segalanya. Tapi aku rasa dia benar.
“Gue emang takut. Takut nggak bisa jadi orang yang selalu diimpikannya. Takut nggak bisa jaga hatinya. Dan gue takut ngancurin persahabatan gue sama dia.” Jawabku sambil memukul cermin itu hingga pecah. Diriku yang berada didalamnya hanya tersenyum masam dalam serpihan.
Aku mendapati diriku baru terbangun dari tidur. Rupanya aku bermimpi. Aku tertidur didepan sebuah cermin. Cermin yang berkata apa sebenarnya diriku. Esoknya aku berpamitan dengan teman-teman sekolahku. Namun aku tidak mendapati Nisa. Akhirnya aku menitipkan sepucuk surat untuk Nisa kepada Tari. “Kasih Nisa, jangan dibaca.” Ucapku kepada Tari. “Siap bos!” Balasnya sambil melakukan gerakan penghormatan.
Biarlah rasa ini ku bawa pergi hingga ku mati, Aku memang takut untuk mengungkapkan rasa ini, namun Aku tak pernah takut untuk terus mengagumi keindahan pada dirinya.
“Bodoh” Geramku.
“Emang isinya apa?”
Tanya Tari. Langsung saja ku perlihatkan surat yang dititipkan Kak Aldo kepadanya. “Kenapa sih dia nggak pernah sadar kalo gue suka sama dia? Apa susahnya sih ngomong ‘aku cinta kamu?’“
Share this article :

Facebook Comments

 
Support : Universitas Pamulang | Android | Kaskus
Copyright © 2013. Photoshoot Asian Beauty - All Rights Reserved
Template Created by Photoshoot Asian Beauty Published by MRIYANTO
Proudly powered by Blogger